Bagaimana kita dapat menceritakan sesuatu yang tidak kita alami sendiri? Bukankah seseorang dapat dikatakan sebagai seorang saksi jika ia mengalami sendiri suatu peristiwa tertentu? Setelah Ayub melewati pencobaan yang dialaminya, ia mengucapkan suatu pernyataan yang harus kita renungkan: Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
Bagaimana dengan kekristenan kita? Apakah selama ini kita membangunnya diatas dasar pengajaran yang tanpa disertai dengan pengalaman? Betapa rapuhnya sebuah pengajaran jika tidak disertai dengan pengalaman. Ini bukan berarti kita sedang memuja pengalaman dan mengesampingkan arti dari kebenaran (doktrin). Jangan berhenti pada rasa puas saat kita sudah mengetahui suatu kebenaran, kembangkanlah kerinduan di hati kita untuk mengalami apa yang kita percayai. Bagaimana kita bisa menceritakan sesutu yang tidak terlebih dahulu kita alami sendiri? Saat Petrus ditangkap oleh Mahkamah Agama dalam Kis 4:20, saat mereka melarang Petrus memberitakan nama Yesus, ia berkata: tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar.
Pernahkah kita makan di sebuah rumah makan dan kita begitu puas dengan rasanya? Secara spontan (tanpa diminta oleh si pemilik rumah makan), kita akan “BERSAKSI” kepada teman-teman untuk mereka mencoba rumah makan tersebut. Jika kita merasakan kepuasan hidup didalam Yesus, maka secara otomatis kita akan menyaksikannya kepada orang-orang disekitar kita. Salah satu penyebab mengapa banyak orang percaya mengalami kesulitan untuk bersaksi adalah karena kurangnya mengalami pengalaman pribadi bersama dengan Tuhan. Kita belum sampai kepada pengalaman “PUAS” dengan Tuhan. Seperti Ayub, pengenalan banyak orang akan Tuhan adalah berasal dari kata orang (Pendeta atau hamba-hamba Tuhan). Merekalah yang menceritakan tentang Tuhan kepada kita. Bukankah kekristenan bukanlah agama, melainkan pengalaman pribadi seseorang bersama dengan Tuhan? Alami pengalaman bersama dengan Tuhan karena Tuhan memanggil setiap kita untuk memasuki pengalaman yang lebih dalam lagi bersamaNya.
Bagaimana dengan kekristenan kita? Apakah selama ini kita membangunnya diatas dasar pengajaran yang tanpa disertai dengan pengalaman? Betapa rapuhnya sebuah pengajaran jika tidak disertai dengan pengalaman. Ini bukan berarti kita sedang memuja pengalaman dan mengesampingkan arti dari kebenaran (doktrin). Jangan berhenti pada rasa puas saat kita sudah mengetahui suatu kebenaran, kembangkanlah kerinduan di hati kita untuk mengalami apa yang kita percayai. Bagaimana kita bisa menceritakan sesutu yang tidak terlebih dahulu kita alami sendiri? Saat Petrus ditangkap oleh Mahkamah Agama dalam Kis 4:20, saat mereka melarang Petrus memberitakan nama Yesus, ia berkata: tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar.
Pernahkah kita makan di sebuah rumah makan dan kita begitu puas dengan rasanya? Secara spontan (tanpa diminta oleh si pemilik rumah makan), kita akan “BERSAKSI” kepada teman-teman untuk mereka mencoba rumah makan tersebut. Jika kita merasakan kepuasan hidup didalam Yesus, maka secara otomatis kita akan menyaksikannya kepada orang-orang disekitar kita. Salah satu penyebab mengapa banyak orang percaya mengalami kesulitan untuk bersaksi adalah karena kurangnya mengalami pengalaman pribadi bersama dengan Tuhan. Kita belum sampai kepada pengalaman “PUAS” dengan Tuhan. Seperti Ayub, pengenalan banyak orang akan Tuhan adalah berasal dari kata orang (Pendeta atau hamba-hamba Tuhan). Merekalah yang menceritakan tentang Tuhan kepada kita. Bukankah kekristenan bukanlah agama, melainkan pengalaman pribadi seseorang bersama dengan Tuhan? Alami pengalaman bersama dengan Tuhan karena Tuhan memanggil setiap kita untuk memasuki pengalaman yang lebih dalam lagi bersamaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar